KATA PENGANTAR
Puji
dan Syukur kami panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat
limpahan Rahmat dan Karunia-nya sehingga kami dapat menyusun makalah ini dengan tepat
pada waktunya. Dalam makalah ini kami akan membahas mengenai “Hama Boleng pada
Tanaman Ubi Jalar”. Makalah ini telah
dibuat dengan berbagai observasi dan beberapa bantuan dari berbagai pihak untuk
membantu menyelesaikan tantangan dan hambatan selama mengerjakan makalah ini.
Oleh karena itu, kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini. Kami menyadari
bahwa masih banyak kekurangan yang mendasar pada makalah ini. Oleh karena itu
kami mengundang pembaca untuk memberikan saran serta kritik yang dapat membangun
kami. Kritik konstruktif dari pembaca sangat kami harapkan untuk penyempurnaan
makalah selanjutnya. Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat
bagi kita semua. Amin.
Pontianak, Oktober
2013
i
DAFTAR
ISI
KATA PENGANTAR ………………………………………………. i
DAFTAR ISI ………………………………………………………… ii
BAB
I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
……………………………………………………. 1
B.
Tujuan……………………………………………………………… 2
BAB
II PEMBAHASAN
A.
Morfologi,
Ekologi dan Biologi Hama Boleng…………………….
3
a.
Telur……………………………………………………………. 3
b.
Larva…………………………………………………………… 4
c.
Pupa……………………………………………………………. 4
d.
Serangga
Dewasa………………………………………………. 5
B. Penyebaran…………………………………………………………. 6
C. Gejala Serangan……………………………………………………. 6
D. Pengendalian………………………………………………………. 6
a. Pencegahan…………………………………………………….. 6
b. Pengendalian Hayati…………………………………………... 7
c. Pemgendalian Fisik / Mekanis…………………………………. 9
d. Pengendalian Kimiawi…………………………………………. 10
BAB
III PENUTUP
A. Kesimpulan
……………………………………………………….. 11
B. Saran………………………………………………………………. 11
DAFTAR PUSTAKA
………………………………………………... 12
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Ubi jalar
atau ketela rambat atau “sweet potato” diduga berasal dari Benua Amerika. Para
ahli botani dan pertanian memperkirakan daerah asal tanaman ubi jalar adalah
Selandia Baru, Polinesia, dan Amerika bagian tengah. Nikolai Ivanovich Vavilov,
seorang ahli botani Soviet, memastikan daerah sentrum primer asal tanaman ubi
jalar adalah Amerika Tengah.Ubi jalar mulai menyebar ke seluruh dunia, terutama
negara-negara beriklim tropika pada abad ke-16. Orang-orang Spanyol menyebarkan
ubi jalar ke kawasan Asia, terutama Filipina, Jepang, dan Indonesia.
Di
Indonesia, ubi jalar umumnya sebagai bahan pangan sampingan.. Komoditas ini
ditanam baik pada lahan sawah maupun lahan tegalan. Luas panen ubu jalar
diindonesia sekitar 230.000 ha dengan produktivitas sekitar 10 ton/ha. Padahal
dengan teknologi maju beberapa varietas unggul ubi jalar dapat menghasilkan
lebih dari 30 ton umbi basah/ha (Anonim,2004).
Di beberapa
daerah tertentu, ubi jalar merupakan salah satu komoditi bahan makanan pokok,
Seperti di irian jaya. Ubi jalar merupakan komoditi pangan penting di Indonesia
dan diusahakan penduduk mulai dari daerah dataran rendah sampai dataran tinggi.
Tanaman ini mampu beradaptasi di daerah yang kurang subur dan kering. Dengan
demikian tanaman ini dapat diusahakan orang sepanjang tahun.
Ubi jalar (Ipomoea
batatas (L.) Lamb.) Merupakan sumber karbohidrat yang dapat dipanen pada
umur 3 – 8 bulan. Selain karbohidrat, ubi jalar juga mengandung vitamin A,C dan
mineral serta antosianin yang sangat bermanfaat bagi kesehatan. Disamping itu,
ubi jalar tidak hanya digunakan sebagai bahan pangan tetapi juga sebagai bahan
baku industri dan pakan ternak (Anonim, 2004).
1
Kendala dalam budidaya jagung yang menyebabkan
rendahnya produktivitas jagung antara lain adalah serangan hama dan penyakit. Hama yang sering di jumpai
menyerang tanaman jagung adalah hama penggerek batang (omphisa anastomasalis), hama boleng ( cylas formicarlus fabr.)
dan hama ulat penggulung daun (tabidia
aculeasis wlk). Selain hama-hama tersebut di temukan pula hama lainya yaitu
ulat tanduk (agrius convovolvuli), (helicoverpa armigera), dan (leuchopolis spp).
Salah
satu hama yang akan di bahas pada
makalah ini yaitu hama
boleng (cylas formicarlus fabr.) yang tidak kalah pentingnya juga dengan hama-hama yang lain ,
jika tidak di kendalikan maka akan merugikan petani karena pengurangan produksi panen, oleh sebab
itu hama boleng tidak boleh di pandang
remeh.
Upaya
pengendalian oleh petani pada saat ini adalah dengan menggunakan pestisida atau
bahan kimia lainnya yang tidak ramah lingkungan. Pengendalian Hama Terpadu
(PHT) yang mengintegrasikan komponen pengendalian yang selaras terbukti tidak
hanya meningkatkan produksi jagung tetapi juga pendapatan petani. Sistem PHT
melibatkan semua komponen yang berpeluang untuk menekan atau mencegah hama
untuk mencapai ambang batas populasi merusak secara ekonomi (economic injury
level/ economic threshold) (Willson, 1990).
B.
Tujuan
Adapun
tujuan makalah ini yaitu :
-
Mengetahui
morfologi dan biologi hama boleng (cylas
formicarlus fabr.)
-
Mengetahui
gejala serangan yang ditimbulkan akibat boleng (cylas formicarlus fabr.)
-
Mempelajari cara-cara mengendalikan
boleng (cylas formicarlus fabr.)
agar mudah, efektif dan efisien dalam pengendaliannya.
-
Agar
produksi ubi jalar meningkat.
2
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Morfologi,
Ekologi
dan Biologi Hama Boleng ( C. Formicarius )
Siklus hidup C. formicarius memerlukan waktu 1–2
bulan, secara umum 35–40 hari
pada musim panas. Generasinya tidak merata,
demikian pula jumlah generasi selama setahun. Di Indonesia, terdapat 9 generasi C.
formicarius dalam setahun, (Nonci dan Sriwidodo 1993; Supriyatin 2001), di
Florida 6–8 generasi, di Texas 5 generasi, dan di
Louisiana Amerika Serikat 8 generasi (Waddil 1982; Capinera 1998). Serangga
dewasa tidak berdiapause, tetapi cenderung tidak aktif bila kondisi lingkungan
kurang sesuai. Semua fase pertumbuhan dapat ditemukan sepanjang tahun
jika tersedia makanan yang sesuai.
Telur
Telur diletakkan di dalam rongga kecil yang
dibuat oleh kumbang betina dengan cara menggerek akar,
batang, dan umbi. Telur diletakkan di bawah kulit atau epidermis,
secara tunggal pada satu rongga dan ditutup kembali sehingga sulit
dilihat (Morallo dan Rejesus 2001; AVRDC 2004). Menurut
Supriyatin (2001), telur C. formicarius sulit dilihat karena
ditutup dengan bahan semacam gelatin yang berwarna cokelat. Telur C.
formicarius berwarna putih krem, berbentuk oval tak beraturan (AVRDC 2004),
berukuran 0,46 – 0,65 mm (Supriyatin 2001), sedangkan menurut
Capinera (1998) panjang telur 0,77 mm dengan lebar 0,50 mm.
3
Di Florida, lama fase telur berkisar 5 hari pada
musim panas dan 11–12 hari bila musim dingin (Capinera 1998). Periode inkubasi
telur beragam sesuai dengan suhu, yakni 4 hari pada suhu 30oC dan 7, 9 hari
pada suhu 20oC. Di Indonesia, rata-rata lama fase telur adalah 7 hari (Supriyatin
2001), sedangkan di India 6,30 hari Rajamma (1983). Seekor kumbang betina
meletakkan telur 3–4 butir / hari atau 75–90 butir selama hidupnya (30
hari). Di laboratorium, setiap ekor kumbang betina mampu
meletakkan telur 122–250 butir (Capinera 1998), sedangkan menurut
Supriyatin (2001) sekitar 90–340 butir.
Larva
Larva yang baru menetas berukuran
lebih besar
dari telur, tanpa kaki, berwarna putih dan lambat laun
berubah menjadi kekuningan (AVRDC 2004). Larva yang baru
menetas langsung menggerek batang atau umbi. Bila larva menggerek
batang, biasanya arah gerekan menuju umbi. Larva C.
formicarius terdiri atas tiga instar dengan periode
instar pertama 8 – 16 hari, instar kedua 2–21 hari, dan instar ketiga
35–56 hari (Capinera 1998). Supriyatin (2001) melaporkan bahwa larva C.
formicarius terdiri atas 5 instar dalam waktu 25 hari. Suhu
merupakan faktor utama yang mempengaruhi tingkat perkembangan larva. Perkembangan
larva mencapai 10 dan 35 hari berturut-turut pada suhu 30oC dan 24oC
(Capinera 1998). Di India, fase larva di laboratorium rata-rata berlangsung 16 hari
(Rajamma 1983) dan di Taiwan 25–35 hari. Larva instar akhir berukuran
panjang 7,50– 8 mm dan lebar
1,80–2 mm (CABI 2001), berwarna putih
kekuningan. Caput besar berukuran sepertiga dari panjang badan
dan seperdua dari lebar badan. Kepala berwarna kuning hingga
cokelat, mandibula kuning hampir hitam dan abdomen
larva agak besar. Telur Cylas formicarius (AVRDC 2004).
Pupa
Larva instar akhir membentuk pupa pada umbi atau
batang, berbentuk oval, kepala dan elytra bengkok secara ventral. Panjang pupa berkisar
6–6,50 mm (Capinera 1998; CABI 2001; AVRDC 2004). Pupa berwarna putih,
tetapi seiring dengan waktu dan perkembangannya, berubah menjadi abu-abu dengan kepala dan mata
gelap. Lama masa pupa berkisar 7–10 hari, tetapi pada cuaca dingin dapat mencapai
28 hari (Capinera 1998). Di laboratorium di India, rata-rata stadium pupa
adalah 4,10 hari (Rajamma 1983).
4
Serangga Dewasa
Kumbang yang baru keluar dari pupa tinggal
1–2 hari di dalam kokon, kemudian keluar dari umbi atau
batang. CABI (2001) melaporkan bahwa kumbang C. formicarius
menyerupai semut, mempunyai abdomen, tungkai, dan
caput yang
panjang dan kurus (Gambar 4). Kepala berwarna hitam, antena, thoraks, dan
tungkai oranye sampai cokelat kemerahan, abdomen dan elytra biru metalik (Capinera
1998; Morallo dan Rejesus 2001). Supriyatin (2001) juga menyatakan
bahwa C. Formicarius mempunyai kepala, abdomen, dan sayap depan
berwarna biru metalik, sedangkan kaki dan dadanya
cokelat. Tungkai
mempunyai cincin di sekeliling tibia. Antena mempunyai 10 ruas.
Perbedaan kumbang jantan dan betina terletak pada antena. CABI (2001) melaporkan
bahwa antena kumbang jantan berbentuk benang, ruas antena mempunyai
jarak yang sempit, dan tidak sama, berbentuk sosis, dan panjangnya lebih
dari dua kali panjang flagelum. Antena kumbang betina berbentuk gada, jarak
ruas antena 2/3 dari panjang flagelum. Suhu sangat
berpengaruh terhadap perkembangan dan lama hidup C. formicarius. Mullen (1981) menyatakan bahwa kumbang C.
formicarius yang dipelihara pada ubi jalar varietas Jewel menurun
perkembangannya sejalan dengan meningkatnya suhu dari 20oC menjadi 30oC. Kumbang
akan hidup lebih lama pada suhu 15oC sehingga penyimpanan ubi jalar
pada suhu 15oC belum dapat memusnahkan populasi C. formicarius. Kumbang betina dapat hidup 113 hari dan
mampu bertelur 90– 340 butir. Siklus hidup setiap generasi berlangsung
38 hari, sehingga dalam setahun terdapat 9 generasi (Supriyatin 2001). Di
India siklus hidup C. Formicarius berkisar 23,20–24,70
hari pada bulan Februari–Mei, 26,20–26,50 hari pada bulan
Juni–September, dan 27–29,10 hari pada bulan
Oktober–Januari. Periode praoviposisi, oviposisi, dan pascaoviposisi berturut-turut
adalah 8,40; 82,60; dan 6,10 hari (Rajamma 1983). Pada suhu 15oC di laboratorium,
serangga dewasa dapat hidup lebih dari 200 hari jika makanan
tersedia, dan hanya 30 hari jika dilaparkan. Namun,
lama hidup kumbang menurun menjadi 3 bulan jika dipelihara pada suhu
30oC dengan makanan, dan 8 hari tanpa makanan (Capinera 1998). Kumbang
dapat terbang tetapi jarang terjadi dan jarak terbangnya relatif dekat.
Kaku et al. (1999) melakukan pengamatan terhadap
pergerakan kumbang C. formicarius di
laboratorium pada suhu 27oC, RH 70% dan 16 jam terang serta 8 jam
gelap. Persentase kumbang dewasa yang bergerak dari satu umbi ke
umbi lainnya selama 7 hari adalah 77,10% untuk kumbang jantan dan 40% untuk kumbang
betina.
5
Persentase pergerakan
kumbang jantan pada umbi yang berumur 30 hari adalah 91,90%
dan kumbang betina 41,40%. Dengan demikian, kumbang jantan bergerak lebih
sering dibanding kumbang betina, dan kumbang jantan tua lebih aktif dibanding
kumbang jantan muda.
B.Penyebaran
Cylas formicarius dijumpai hampir di seluruh daerah pertanaman ubi jalar di dunia, baik di daerah tropika
maupun subtropika. Di Indonesia, C. formicarius banyak ditemukan di Papua, Jawa, Sulawesi, Sumatera, dan
Nusa Tenggara (Nonci dan Sriwidodo
1993; Trustina et al. 1993). Di Amerika Serikat, hama tersebut pertama kali
ditemukan di Louisiana pada tahun 1875, kemudian di Florida tahun 1878 dan Texas
tahun 1890, dan diduga masuk melalui Kuba. Saat ini hama itu sudah ditemukan di
seluruhpantai bagian tenggara mulai dari Carolina Utara hingga Texas, juga
ditemukan di Hawai dan Puerto Rico (Capinera 1998). Komi (2000) melaporkan bahwa C. formicarius pertama kali ditemukan di Jepang pada tahun 1900-an
kemudian menyebar ke bagian utara
Pulau Amami, Tokara, Setokuchi, kemudian menjadi endemik. Pada tahun 1995, C. Formicarius ditemukan untuk pertama
kalinya di kota Muroto di Kochi Prefecture.
C.
Gejala Serangan
Hama ini menyerang ubi jalar dengan cara menggerek
ubi sejak di lapangan sampai di tempat penyimpanan. Hama ini menyerang tanaman
ubi jalar dalam fase larva. Kerusakan akibat serangan larva hama
boleng terlihat
dengan adanya lubang lubang kecil bekas gerekan dan yang tertutup
oleh kotoran berwarna hijau dan berbau menyengat. Hama ini biasanya menyerang
tanaman ubi jalar yang telah memasuki fase umbi. Dan bila hama terbawa oleh ubi
di gudang penyimpanan sering merusak ubi sehingga sering merusak kualitas dan
kuantitas ubi jalar.
D. Cara Pengendalian
Pengendalian hama boleng ini harus
di lakukan jika sudah sampai batas ekonomi. Beberapa cara untuk mengendalikan
hama boleng yaitu :
a. Pencegahan
-
Penggunaan bibit yang sehat dan tidak terdapat telur
hama serta lakukan perendaman bibit dengan pestisida sebelum di tanam.
-
Merotasikan tanaman yang tidak sefamili dengan ubi
jalar untuk memutuskan siklus hama, misalnya padi-ubi jalar-padi.
6
-
Pembumbunan atau penimbunan guludan secara berskala
untuk menghindari rekahan tanah yang biasa digunakan sebagai jalan masuk imago
untuk meletakkan telur.
-
Pengambilan dan pemusnahan batang dan akar semua jenis
ubi jalar pada lahan yang khususnya yang terserang hama cukup berat.
-
Pengamatan/monitoring hama terhadap tanaman secara
periodik.
b. Pengendalian
hayati
Pengendalian secara Biologis Musuh alami
kumbang berperan penting dalam menekan populasi hama boleng. Agen mikrobia
seperti jamur entomofaga, bakteri, dan
nematoda memiliki potensi sebagai agen pengendali
hayati. Kombinasi
feromon seks dengan jamur Beauveria bassiana efektif mengendalikan hama boleng.
Pemanfaatan cendawan entomopatogen
merupakan salah satu komponen pengendalian hama terpadu (PHT). Beauveria
bassiana merupakan cendawan entomopatogen yang efektif mengendalikan hama
dari ordo Coleoptera. Penelitian bertujuan untuk mendapatkan frekuensi dan cara
aplikasi cendawan entomopatogen B. bassiana yang efektif. Penelitian
dilakukan di rumah kaca Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan
Umbi-umbian (Balitkabi) Hasil penelitian menunjukkan semakin sering aplikasi
cendawan, tingkat kerusakan umbi, populasi telur, larva, dan imago semakin
rendah, sedangkan perlakuan pra tanam (aplikasi seminggu sebelum tanam dan stek
dicelupkan pada suspensi cendawan sebelum tanam tidak berpengaruh terhadap
tingkat kerusakan umbi, populasi telur, larva, dan imago(gambar 1). Oleh karena
itu, untuk menekan kerusakan umbi akibat serangan penggerek umbi dapat
dilakukan dengan aplikasi cendawan B. bassiana dengan cara menyemprotkan
ke permukaan tanah dan bagian tanaman. Untuk mendapatkan hasil yang optimal,
frekuensi aplikasi dilakukan paling tidak empat kali, atau diaplikasikan mulai
umur enam minggu setelah tanam (MST) pada saat calon umbi sudah terbentuk.
7
Gambar 1 Populasi telur, larva,
pupa, dan imago penggerek umbi pada beberapa cara dan frekuensi aplikasi
cendawan B. bassiana di rumah kaca Balitkabi.
Keterangan
perlakuan:
- Aplikasi
(penyemprotan) suspensi konidia B. bassiana 108/ml satu
minggu sebelum tanam
- Stek
ubi jalar dicelupkan suspensi konidia B. bassiana selama 30 menit
- Perlakuan
1 + perlakuan 2
- Perlakuan
1 + perlakuan 2 + aplikasi 10 ml suspensi per pot ke tanah pada umur 2, 4,
6, 8, 10, dan 12 minggu setelah tanam (MST)
- Perlakuan
2 + aplikasi ke tanah pada 2, 4, 6, 8, 10, dan 12 MST
- Perlakuan
1 + perlakuan 2 + aplikasi ke tanah pada umur 4, 6, 8, 10, dan 12 MST
- Perlakuan
1 + perlakuan 2 + aplikasi ke tanah pada umur 4, 8, 12 MST
- Perlakuan
1 + perlakuan 2 + aplikasi ke tanah pada umur 4 dan 8 MST
- Perlakuan
1 + perlakuan 2 + aplikasi ke tanah pada umur 4 MST
- Perlakuan
1 + perlakuan 2 + aplikasi ke tanah pada umur 8 MST
- Proteksi
penuh dengan insektisida (bahan aktif Karbofuran)
- Kontrol
(tanpa pengendalian)
8
Gambar 2. Intensitas serangan
penggerek umbi pada beberapa cara dan frekuensi aplikasi cendawan B.
bassiana di rumah kaca Balitkabi.
Keterangan perlakuan sama dengan Gambar 1.
Gambar 3 Intensitas kerusakan
tertinggi lebih dari 80% pada kontrol (A), tingkat kerusakan pada perlakuan
pratanam (B), dan tingkat kerusakan terendah pada perlakuan aplikasi cendawan
enam kali (C).
c.
Pengendalian Fisik
/ Mekanis
- menghasilkan
sumber infeksi (dicabut/dipetik),
- menggunakan peralatan yang bersih,
- memasang perangkap mekanis,
- pembakaran sumber infeksi,
- menggunakan alat penimbul suara-suara (menolak hama).
9
d. Pengendalian
Kimiawi
Sekitar 20% petani ubi
jalar di Jawa Timur menggunakan insektisida untuk mengendalikan hama ubi jalar.
Pengendalian dilakukan dengan cara merendam setek dalam larutan insektisida
dengan takaran 0,05% b.a/ha selama 20 menit. Aplikasi insektisida semprotan
dapat dilakukan tiga kali, yaitu pada saat tanaman berumur 50, 78, dan 106 hari
dengan takaran semprot 1-2 kg/ha. Aplikasi insektisida dalam bentuk butiran dilakukan
bersamaan dengan pembumbunan.
10
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang dapat di
ambil dari sedikit uraian di atas diantaranya yaitu :
-
Bahwa hama
boleng (cylas
formicarlus fabr) yang merusak tanaman ubi jalar adalah fase larva.
-
Pemanfaatan cendawan entomopatogen merupakan salah
satu komponen pengendalian hama terpadu (PHT)
-
Hama menyerang tanaman ubi jalar dalam fase ubi.
-
Pembubunan dan penimbunan secara berskala dapat
mencegah imago melatakkan telur.
-
Rotasi tanaman dapat memutus siklus hidup hama.
B. Saran
Adapun saran
yang dapat kami berikan antara lain :
-
Tindakan pengendalian sebaiknya di
lakukan saat fase pra tanam.
-
Untuk mengendalikan hama boleng (cylas
formicarlus fabr) ini terlebih dahulu kita harus mengenal
hama ini, mengetahui morfologi dan biologinya.
-
Mekanisme
– mekanisme penjagaan tanaman dari hama ini perlu di perhatikan dan dijalankan
dengan benar.
-
Lebih baiknya kita mengendalikan hama
ini secara fisik atau biologi dibanding kimia, jika secara fisik atau biologi
tidak juga berhasil maka baru menggunakan secara kimia, karena kita di tuntut
untuk meminimalkan kimia.
11
DAFTAR
PUSTAKA
-
Rukmana, Rahmat. (1997). Ubi jalar: budi daya dan
pascapanen. Yogyakarta: Kanisius,1997.
12